HIV AIDS
Sumber: "http://propoliatawon.blogspot.com/p/penyakit-yang-sudah-di-sembuhkan-oleh_14.html"
Bp. Taufik dinyatakan Negatif dari HIV Aids oleh Lab RS. ISLAM Jakarta Pd. Kopi pada pertengahan bulan Nopember 2009 yl.

Ceritanya bermula dari perkenalan bp. Taufik dengan Propolis sekitar bulan Agustus 2009. Propolis ini diperkenalkan abang beliau yaitu bp. Mulyadi Nasir yang memang mengetahui bahwa Bp. Taufik positif terinfeksi HIV Aids sejak beberapa tahun sebelumnya. Bp. Taufik mengkonsumsi propolis secara rutin dengan dosis rendah 5 tetes setiap minum 2-4 kali sehari.
Awal bulan Nopember 2009 yang lalu bp. Taufik merasa badannya Lemas dan Tidak bertenaga. Lalu Keluarga dekat beliau sepakat untuk merawat nya di RS. ISLAM Jakarta pd. Kopi kurang lebih 1 minggu ketika itu propolis tidak pernah ditinggalkan untuk diminum.
Dirasa sudah agak pulih bp. Taufik ingin di rumah saja namun sebelum pulang bp.Taufik minta pihak RS. untuk mengetes Darah khususnya Virus HIV. Betapa Kaget dan Bersyukurnya beliaujuga Keluarga setelah mengetahui hasil lab, bp. Taufik terbebas dari HIV AIDs.
Bp. Taufik berucap " PROPOLIS benar OBAT seperti yg tertulis dalam Al-Qur'an srt. An-Nahl 68-69. Maha Besar Engkau Ya Tuhan". Bp. Taufik adalah Kepala Manajemen Stockis Melia Nature Pd. Kopi Jakarta Timur.
Bukti Khasiat dari Lab - Virus HIV/AIDS (telah dibahas di Majalah Trubus)
Oleh trubusid_admindbhttp://www.trubus-online.co.id/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=2208
Siapa tak merinding mendengar kata AIDS - menurunnya sistem kekebalan tubuh akibat infeksi human immunodeficiency virus HIV yang memicu munculnya beragam penyakit? Menurut data World Health Organization (WHO), sekitar 2-juta penduduk dunia meninggal akibat AIDS sepanjang 2008. Jumlah itu mungkin turun jika para pengidap AIDS mengenal propolis.
Propolis memang belum dibuktikan secara klinis bisa mengatasi HIV. Namun, berdasar riset in vitro - di laboratorium - yang dilakukan para peneliti dari University of Minnesota, Minneapolis, Amerika Serikat, propolis berpotensi meningkatkan kekebalan tubuh para penderita HIV/AIDS. Tim peneliti menduga zat antiviral yang terkandung dalam propolis menghambat masuknya virus ke dalam CD4+ limfosit.
Propolis dosis 66,6 ?g/ml dalam kultur sel CD4+ - sel T dalam sistem kekebalan yang memiliki reseptor CD4 mampu menghambat ekspresi virus HIV maksimal 85%. Lazimnya pada penderita HIV/AIDS, virus mematikan itu menginfeksi sel bereseptor CD4 dan merusaknya. Makanya, jumlah sel ber-CD4 pada penderita HIV/AIDS turun jauh di bawah angka normal. Pada orang sehat, jumlahnya sekitar 500 - 1.500/mm3 darah.
Penyakit berat
Berdasarkan riset di luar maupun dalam negeri, propolis memang terbukti ampuh melawan beberapa penyakit berat. Dr dr Eko Budi Koendhori Mkes, dari Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK UNAIR), misalnya, membuktikan lem lebah itu membantu menekan kerusakan jaringan paru pada mencit yang diinfeksi Mycobacterium tuberculosis - bakteri penyebab penyakit tuberculosis (TBC).
Dari 100 mencit yang diinfeksi M. tuberculosis, tikus yang diberi kombinasi Isoniasid - obat antituberculosis - 25 mg/kg bobot badan dan propolis menunjukkan peningkatan kadar interferon γ . Interferon γ berperan mengaktifkan sel makrofag yang membunuh bakteri TBC. Mencit yang hanya diberi Isoniasid mengalami peningkatan kerusakan paru dari minggu ke-5 hingga ke-12. Sementara kondisi paru mencit yang diberi Isoniasid dan propolis dosis 800 mg pada minggu ke-12 sama seperti pada minggu ke-5.
Propolis berperan meningkatkan kekebalan penderita sehingga kerusakan jaringan dapat ditekan. Obat standar bekerja secara langsung menyerang bakteri TBC. Nah, kombinasi obat dan propolis mematikan bakteri TBC sekaligus mengurangi kerusakan paru-paru akibat serangan bakteri. 'Propolis sangat bagus untuk meningkatkan sistem imun. Selain itu saya duga memiliki kemampuan antikanker,' tutur Eko.
Kanker
Dugaan Eko tidak meleset. Berdasar riset yang dilakukan di laboratorium Pengujian dan Penelitian Terpadu (LPT) UGM, produk propolis yang diteliti dapat menghambat sel kanker HeLa (sel kanker serviks), Siha (sel kanker uterus), serta T47D dan MCF7 (sel kanker payudara) dengan nilai IC50 berkisar 20 - 41 µg/ml. Artinya, propolis dosis 20 - 41 µg/ml dapat menghambat aktivitas 50% sel kanker dalam kultur.
Itu sejalan dengan penelitian dr Woro Pratiwi MKes SpPD, dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM). Propolis yang diberikan selama 1 bulan memiliki efek antikanker dalam organisme hidup. Itu ditunjukkan dengan menurunnya jumlah nodul atau tonjolan tumor dan menurunnya aktivitas proliferasi - penggandaan - sel tumor kelenjar payudara pada mencit. Namun, efeknya masih lebih rendah dibanding pada mencit yang diberi obat kanker standar, doksorubisin. 'Sehingga, perlu dikaji penggunaan propolis dengan obat antikanker terstandar untuk memberikan efek terapi optimal dan efek samping minimal,' ujar Woro.
Polifenol dan flavonoid, sebagian senyawa yang terkandung dalam propolis, kemungkinan berperan menghambat proliferasi sel kanker. Menurut Dr Edy Meiyanto dari Fakultas Farmasi UGM, flavonoid biasanya mempunyai struktur khas yang mampu menghambat protein kinase yang digunakan untuk proliferasi sel. Jika protein kinase ini dihambat, proses fisiologi sel pun terhambat sehingga sel melakukan apoptosis alias membuat program bunuh diri.
'Senyawa golongan flavonoid dan polifenol yang ada dalam propolis juga memiliki efek antioksidan dan antitrombositopenia,' kata Prof Dr Mustofa MKes Apt dari Bagian Farmakologi & Toksikologi FK UGM. Penelitian tim FK UGM menunjukkan sediaan propolis yang diuji mampu mencegah penurunan trombosit pada mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei - salah satu parasit penyebab malaria pada mamalia selain manusia. Dosis optimal 5 ml/kg bobot badan juga mampu meningkatkan jumlah eritrosit hingga 37% setelah 8 hari pemberian.
Aman
Khasiat lain propolis yang sudah dibuktikan lewat riset yaitu efek antimikrobanya. Uji yang dilakukan Eko pada 2007 menunjukkan propolis mampu membunuh 26 isolat bakteri Staphylococcus aureus penyebab infeksi pada kulit dan saluran pernapasan serta Escherichia coli penginfeksi saluran pencernaan. Propolis dosis 10% dan 20% mampu membunuh seluruh sampel kedua jenis bakteri.
Penelitian serupa oleh Dr Jessie Pamudji di Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung membuktikan efek antibakteri propolis terhadap S. aureus dan Propionibacterium acnes - biang jerawat. 'Itu karena propolis mengandung senyawa yang bersifat antimikroba yaitu flavon pinocembrin, flavonol galangin, dan asam kafeat,' ujar Jessie.
Yang terpenting, riset membuktikan propolis aman meski dikonsumsi dalam jangka panjang. Menurut Dra Mulyati Sarto, MSi dari LPT UGM, toksisitas propolis sangat rendah. 'Mencit yang diberi propolis tiap hari selama 1 bulan dengan dosis normal, fungsi dan kondisi organ tubuhnya tetap bagus, tidak bermasalah,' ujarnya.
Dosis normal yang dimaksud setara 1 sendok makan propolis dilarutkan dalam 50 ml air untuk konsumsi manusia. Propolis baru menyebabkan kematian separuh jumlah hewan uji pada dosis di atas 10.000 mg/kg bobot badan. Jika dikonversikan ke orang berbobot 60 kg, dosis itu setara konsumsi 0,6 kg propolis setiap hari. Artinya, keampuhan dan keamanan propolis telah terbukti. (Tri Susanti/Peliput: Faiz Yajri, Nesia Artdiyasa & Rosy Nur Apriyanti)

Propolis memang belum dibuktikan secara klinis bisa mengatasi HIV. Namun, berdasar riset in vitro - di laboratorium - yang dilakukan para peneliti dari University of Minnesota, Minneapolis, Amerika Serikat, propolis berpotensi meningkatkan kekebalan tubuh para penderita HIV/AIDS. Tim peneliti menduga zat antiviral yang terkandung dalam propolis menghambat masuknya virus ke dalam CD4+ limfosit.
Propolis dosis 66,6 ?g/ml dalam kultur sel CD4+ - sel T dalam sistem kekebalan yang memiliki reseptor CD4 mampu menghambat ekspresi virus HIV maksimal 85%. Lazimnya pada penderita HIV/AIDS, virus mematikan itu menginfeksi sel bereseptor CD4 dan merusaknya. Makanya, jumlah sel ber-CD4 pada penderita HIV/AIDS turun jauh di bawah angka normal. Pada orang sehat, jumlahnya sekitar 500 - 1.500/mm3 darah.
Penyakit berat
Berdasarkan riset di luar maupun dalam negeri, propolis memang terbukti ampuh melawan beberapa penyakit berat. Dr dr Eko Budi Koendhori Mkes, dari Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK UNAIR), misalnya, membuktikan lem lebah itu membantu menekan kerusakan jaringan paru pada mencit yang diinfeksi Mycobacterium tuberculosis - bakteri penyebab penyakit tuberculosis (TBC).
Dari 100 mencit yang diinfeksi M. tuberculosis, tikus yang diberi kombinasi Isoniasid - obat antituberculosis - 25 mg/kg bobot badan dan propolis menunjukkan peningkatan kadar interferon γ . Interferon γ berperan mengaktifkan sel makrofag yang membunuh bakteri TBC. Mencit yang hanya diberi Isoniasid mengalami peningkatan kerusakan paru dari minggu ke-5 hingga ke-12. Sementara kondisi paru mencit yang diberi Isoniasid dan propolis dosis 800 mg pada minggu ke-12 sama seperti pada minggu ke-5.
Propolis berperan meningkatkan kekebalan penderita sehingga kerusakan jaringan dapat ditekan. Obat standar bekerja secara langsung menyerang bakteri TBC. Nah, kombinasi obat dan propolis mematikan bakteri TBC sekaligus mengurangi kerusakan paru-paru akibat serangan bakteri. 'Propolis sangat bagus untuk meningkatkan sistem imun. Selain itu saya duga memiliki kemampuan antikanker,' tutur Eko.
Kanker
Dugaan Eko tidak meleset. Berdasar riset yang dilakukan di laboratorium Pengujian dan Penelitian Terpadu (LPT) UGM, produk propolis yang diteliti dapat menghambat sel kanker HeLa (sel kanker serviks), Siha (sel kanker uterus), serta T47D dan MCF7 (sel kanker payudara) dengan nilai IC50 berkisar 20 - 41 µg/ml. Artinya, propolis dosis 20 - 41 µg/ml dapat menghambat aktivitas 50% sel kanker dalam kultur.
Itu sejalan dengan penelitian dr Woro Pratiwi MKes SpPD, dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM). Propolis yang diberikan selama 1 bulan memiliki efek antikanker dalam organisme hidup. Itu ditunjukkan dengan menurunnya jumlah nodul atau tonjolan tumor dan menurunnya aktivitas proliferasi - penggandaan - sel tumor kelenjar payudara pada mencit. Namun, efeknya masih lebih rendah dibanding pada mencit yang diberi obat kanker standar, doksorubisin. 'Sehingga, perlu dikaji penggunaan propolis dengan obat antikanker terstandar untuk memberikan efek terapi optimal dan efek samping minimal,' ujar Woro.
Polifenol dan flavonoid, sebagian senyawa yang terkandung dalam propolis, kemungkinan berperan menghambat proliferasi sel kanker. Menurut Dr Edy Meiyanto dari Fakultas Farmasi UGM, flavonoid biasanya mempunyai struktur khas yang mampu menghambat protein kinase yang digunakan untuk proliferasi sel. Jika protein kinase ini dihambat, proses fisiologi sel pun terhambat sehingga sel melakukan apoptosis alias membuat program bunuh diri.
'Senyawa golongan flavonoid dan polifenol yang ada dalam propolis juga memiliki efek antioksidan dan antitrombositopenia,' kata Prof Dr Mustofa MKes Apt dari Bagian Farmakologi & Toksikologi FK UGM. Penelitian tim FK UGM menunjukkan sediaan propolis yang diuji mampu mencegah penurunan trombosit pada mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei - salah satu parasit penyebab malaria pada mamalia selain manusia. Dosis optimal 5 ml/kg bobot badan juga mampu meningkatkan jumlah eritrosit hingga 37% setelah 8 hari pemberian.
Aman
Khasiat lain propolis yang sudah dibuktikan lewat riset yaitu efek antimikrobanya. Uji yang dilakukan Eko pada 2007 menunjukkan propolis mampu membunuh 26 isolat bakteri Staphylococcus aureus penyebab infeksi pada kulit dan saluran pernapasan serta Escherichia coli penginfeksi saluran pencernaan. Propolis dosis 10% dan 20% mampu membunuh seluruh sampel kedua jenis bakteri.
Penelitian serupa oleh Dr Jessie Pamudji di Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung membuktikan efek antibakteri propolis terhadap S. aureus dan Propionibacterium acnes - biang jerawat. 'Itu karena propolis mengandung senyawa yang bersifat antimikroba yaitu flavon pinocembrin, flavonol galangin, dan asam kafeat,' ujar Jessie.
Yang terpenting, riset membuktikan propolis aman meski dikonsumsi dalam jangka panjang. Menurut Dra Mulyati Sarto, MSi dari LPT UGM, toksisitas propolis sangat rendah. 'Mencit yang diberi propolis tiap hari selama 1 bulan dengan dosis normal, fungsi dan kondisi organ tubuhnya tetap bagus, tidak bermasalah,' ujarnya.
Dosis normal yang dimaksud setara 1 sendok makan propolis dilarutkan dalam 50 ml air untuk konsumsi manusia. Propolis baru menyebabkan kematian separuh jumlah hewan uji pada dosis di atas 10.000 mg/kg bobot badan. Jika dikonversikan ke orang berbobot 60 kg, dosis itu setara konsumsi 0,6 kg propolis setiap hari. Artinya, keampuhan dan keamanan propolis telah terbukti. (Tri Susanti/Peliput: Faiz Yajri, Nesia Artdiyasa & Rosy Nur Apriyanti)
Waspadai Terapi Alternatif untuk Kanker

Penggunaan pengobatan alternatif sebagai terapi medis untuk kanker perlu diwaspadai. Sebab, pemakaian terapi alternatif sebelum terapi medis dapat mencuri waktu pasien kanker yang sangat berharga. Padahal, sebagian terapi alternatif dan komplementer belum terbukti dapat menyembuhkan penyakit itu.
”Terapi yang aman adalah terapi yang memiliki dasar ilmiah dan dapat dibuktikan dalam uji klinis,” kata ahli bedah onkologi dari Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta, Walta Gautama, dalam diskusi yang dihadiri para pasien dan keluarga penderita kanker, Jumat (25/1), di auditorium RS Mitra Kelapa Gading, Jakarta.
Di Indonesia terapi alternatif dan komplementer sangat populer, terutama untuk penyakit-penyakit yang butuh operasi seperti kanker. Keberhasilan yang diklaim terapi alternatif sering hanya berdasar kesaksian pasien tanpa ada bukti ilmiah.
”Tanpa regulasi yang baik, terapi alternatif dapat berbahaya dari sisi ekonomi, waktu, dan kepercayaan pasien terhadap dokter,” ujar Walta.
Di sisi lain, kualitas pelayanan medis bagi pasien kanker juga harus ditingkatkan, di antaranya mempercepat proses pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis agar tidak terlambat diobati dan beralih ke terapi nonmedis.
Karena kurangnya pengetahuan tentang keamanan dan efikasi pengobatan ini, di AS telah didirikan badan khusus yang meregulasi terapi alternatif (NCCAM).
Hasil survei di AS, pasien mencoba terapi alternatif bukan untuk sembuh, melainkan untuk meningkatkan daya tahan, mengurangi nyeri, mengurangi efek samping tidak menyenangkan dari terapi medis yang dijalani.
”Suplemen dan diet sebagai terapi sebaiknya hanya digunakan untuk meningkatkan kekebalan tubuh dan mengurangi keluhan akibat kanker atau dampak pengobatannya,” kata dia.
Mitos
Selama ini beredar mitos seputar diet, nutrisi, atau suplemen sebagai terapi alternatif dan komplementer untuk kanker. Vitamin A misalnya, yang dianggap dapat meningkatkan daya tahan tubuh pasien kanker, faktanya membuktikan pemberian vitamin A dosis tinggi dan berkepanjangan meningkatkan kanker prostat dan angka kejadian kanker paru pada kelompok risiko tinggi.
Sementara vitamin C dianggap antioksidan yang dapat mencegah kanker dan perlu diminum dosis tinggi. Kenyataannya, tidak ada penelitian yang membuktikan dapat menyembuhkan kanker. Vitamin itu dapat mengganggu efek radiasi dan kemoterapi terhadap sel kanker.
Makrobiotik atau diet hampir vegetarian juga dianggap dapat mencegah kanker. Diet ini menghindari daging, telur, dan susu. Dari penelitian, peran makrobiotik untuk pengobatan kanker belum cukup diteliti. ”Beberapa komponen makrobiotik dapat mengubah metabolisme beberapa obat. Bawang putih, misalnya, mengganggu metabolisme obat kemoterapi, antijamur, antidarah tinggi,” kata Walta. (EVY)***
Pengobatan tubuh-pikiran dan HIV/AIDS

oleh Jeffrey Leiphart, Ph.D
Pengobatan Tubuh-Pikiran (Mind-Body Medicine) merupakan cara pendekatan terbaru terhadap kesehatan dan penyakit yang mengakui bahwa permasalahan emosi dan psikologi dapat mempengaruhi kondisi tubuh kita.
Penelitian tubuh dan pikiran telah menunjukkan bahwa emosi, kepercayaan serta hubungan kita dengan orang lain serta kebiasaan perilaku kita dapat mempengaruhi sistim kekebalan tubuh kita, membuatnya semakin kuat atau melemak, sehingga mengarahkan tubuh ke arah sakit atau sehat. Sebagai contah, kita kini tahu bahwa tingkat stress tinggi dan kesedihan serta depresi yang berkelanjutan dapat melemahkan sistim kekebalan tubuh, dan bahwa dukungan teman, motivasi diri serta olahraga fisik semuanya menyumbangkan andil terhadap kekebalan tubuh yang kuat dan kesehatan tubuh.
Para peneliti pengobatan tubuh dan pikiran sejak pertengahan tahun 1980-an telah mempelajari bagaimana hubungan antara tubuh dan pikiran bekerja dalam kaitan dengan HIV/AIDS. Mereka telah mempelajari mengapa beberapa orang jatuh sakit dan meninggal karena HIV, sementara orang lain tetap bebas dari gejala dan sehat. Deminikian beberapa hal yang mereka temukan, berdasarkan penelitian medis:
- Kepercayaan: percaya bahwa anda pasti meninggal karena terinfeksi HIV dapat memicu ketakutan, terjadinya penurunan kekebalan tubuh, keengganan untuk berperilaku sehat dan pada akhirnya akan mengakibatkan masa hidup yang lebih pendek.
- Stres: terjebak dalam "survival stress" selama berbulan-bulan -- dimana anda merasa tidak aman atau terancam -- dapat mengakibatkan kelelahan fungsi sistim kekebalan tubuh dan mempercepat perkembangan AIDS.
- Kesedihan: merasa sedih adalah normal setelah kehilangan seseorang, hewan peliharaan atau cita-cita yang penting dalam hidup. Apabila kesedihan itu "disimpan" dan tidak diekspresikan selama berbulan-bulan, hal itu dapat memicu penurunan kekebalan tubuh dan mempercepat perkembangan penyakit.
- Pengungkapan kepada pendukung yang terpercaya: ilmu pengetahuan telah menemukan bahwa membicarakan permasalahan anda secara jujur kepada orang yang anda percaya dapat memberi sokongan terhadap fungsi sistim kekebalan tubuh anda.
- Tujuan hidup dan cita-cita: penelitian ilmiah terhadap orang-orang HIV+ yang tetap sehat untuk waktu lama menunjukkan bahwa orang-orang HIV+ tersebut umumnya memiliki "alasan untuk tetap hidup", apakah secara umum ("saya ingin menikmati waktu dengan teman-teman dan keluarga") atau cita-cita khusus ("saya ingin ikut kursus memasak bulan depan"). Nampaknya "alasan untuk hidup" mampu memberi sokongan terhadap sistim kekebalan tubuh dan survival.
- Orang yang punya pendirian didefinisikan sebagai orang yang mampu menyatakan "tidak" terhadap sesuatu yang ia tidak ingin lakukan, dan "ya" terhadap sesuatu yang ia inginkan atau sukai. Penelitian medis menunjukkan bahwa memiliki pendirian dapat mendongkrak kekuatan dan kuantitas sel-sel Natural Killer (NK) sistim kekebalan tubuh. Ini sangat penting karena sel NK dapat membunuh HIV di dalam tubuh dan dapat terjadi pada orang dengan jumlah CD4 yang sangat rendah.
- Perawatan tubuh artinya anda melakukan hal yang benar secara reguler untuk memastikan tubuh anda tetap sehat. Hal ini dapat termasuk pengertian mengenai ritme pernafasan anda dan memperbaiki segala permasalahan yang ada (seperti pernafasan yang kurang dalam atau kebiasaan menahan napas tanpa anda perhatikan). Anda sebaiknya minum air putih sebanyak delapan gelas setiap hari dan makan makanan padat gizi serta pola makan yang sehat sehingga keseluruhan tubuh anda, termasuk sel-sel kekebalan tubuh, mendapatkan semua nutrisi yang dibutuhkan. Tidur teratur yang dapat membuat anda bangun dengan "perasaan segar" setiap pagi juga penting. Akhirnya, anda sebaiknya berolahraga fisik dengan tingkat yang moderat (setidaknya 3 kali seminggu). Contoh olahraga fisik yang moderat adalah jalan cepat selama 20 menit yang membuat anda bernapas lebih cepat dan mungkin juga mengeluarkan sedikit keringat. Ingat bahwa sel Natural Killer (NK) juga dapat diperkuat dan diperbanyak dengan berolahraga.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai topik ini, dapat dilihat di website L.I.F.E. Program di www.shanti.org
[Sumber: TheBody.com]
7 Jenis Kanker Ancam Pasien HIV

Para peneliti dari Perancis menguji data dari tiga jenis kanker yang terkait dengan AIDS (Kaposi sarcoma, non-Hodgkin's lymphoma, dan kanker serviks), serta empat kanker yang tidak terkait dengan AIDS (Hodgkin's lymphoma, kanker paru, kanker hati, dan kanker anal) pada 52.278 orang yang terinfeksi HIV.
Peneliti dalam studi tersebut juga menganalisa kaitan antara defisiensi kekebalan tubuh, jumlah virus, terapi antiviral, serta timbulnya kanker. Secara umum, berkurangnya kekebalan tubuh meningkatkan risiko kanker. Jumlah sel CD4 (jumlah CD4 mencerminkan kesehatan sistem kekebalan tubuh) merupakan faktor yang bisa memprediksi seluruh risiko kanker, kecuali kanker anal. Menurut catatan peneliti, kaitan antara risiko kanker dengan jumlah virus lebih rendah daripada kurangnya kekebalan tubuh.
Jumlah CD4 merupakan satu-satunya faktor risiko yang memprediksi Hodgnkin's lymphoma, kanker paru dan kanker hati. Meningkatnya risiko Kaposi sarcoma dan non-Hodgkin's lymphoma juga berkaitan dengan rendahnya jumlah CD4, tingginya jumlah virus HIV dan kombinasi terapi antiretroviral (cART).
Sementara itu jumlah CD4 yang tinggi berkaitan dengan rendahnya risiko kanker serviks. Risiko kanker anal meningkat bila jumlah CD4 kurang dari 200 sel per mikroliter dan jumlah virus lebih dari 100.000 per mililiter. Demikian menurut studi yang dipublikasikan dalam The Lancet Oncology.
"cART lebih bermanfaat untuk memperbaiki bila jumlah CD4 di atas 500 sel per mikroliter, hal ini mengindikasikan diagnosis awal infeksi HIV dan perlunya terapi sejak awal," kata para peneliti. Selain itu para peneliti juga merekomendasikan pentingnya program skrining kanker untuk pasien HIV, terutama skrining kanker serviks untuk wanita yang positif HIV.
Khitan, Cegah HIV dan Kanker Serviks
Sumber: http://www.solusisehat.net/artikel.php?id=1035
Kanker serviks memang hanya dialami wanita. Namun, kaum pria bisa membantu mencegah timbulnya penyakit ini.
Caranya, suami disarankan berkhitan alias sunat. Selain dianggap mampu mencegah kanker serviks, khitan juga dipercaya mampu meminimalkan penyebaran HIV. Fakta di lapangan menyebutkan, angka kematian akibat AIDS dan kanker serviks (leher rahim) sangat tinggi. Sebut saja HIV, virus penyebab AIDS yang menginfeksi 33 juta orang di seluruh dunia.
Demikian halnya HPV (human pappiloma virus) yang merupakan penyebab infeksi menular seksual paling umum di seluruh dunia. Virus tersebut telah menginfeksi sedikitnya 20 juta penduduk Amerika Serikat (AS). Virus inilah yang menjadi biang utama kanker serviks, penyakit yang mampu menewaskan 300.000 perempuan per tahun.
Upaya penanganannya telah berkembang, tidak lagi sekadar mengobati, melainkan juga pencegahan. Misalnya, vaksin HPV pencegah kanker serviks. Sayangnya, vaksin yang efektif mencegah AIDS masih belum ditemukan hingga detik ini.
Nah, bagi Anda kaum pria yang telah dikhitan (disunat), berbahagialah karena Anda dan pasangan berisiko lebih rendah terinfeksi kedua virus mematikan tersebut. Kabar baik itu datang dari laporan tiga studi yang dipublikasikan belum lama ini dalam Jurnal Penyakit Infeksi. Hasil studi memperkuat bukti bahwa khitan melindungi pria dari HPV dan HIV.
Sudah menjadi rahasia umum, kalau kanker serviks hanya dialami wanita. Namun, bisa saja wanita tersebut tertular HPV dari suami atau partner seksualnya. Dengan kata lain, dengan berkhitan berarti pria tak hanya melindungi dirinya sendiri, juga pasangannya.
Dr Bertran Auvert dari Universitas Versailles, Prancis, dan timnya di Afrika Selatan (Afsel) melakukan tes terhadap 1.200 pria yang memeriksakan diri ke klinik di Afsel. Mereka mendapati kasus infeksi HPV kurang dari 15 persen pada pria yang disunat, dan 22 persen pada pria yang belum disunat. "Temuan ini merupakan jawaban atas pertanyaan mengapa wanita yang bersuamikan pria yang telah disunat berisiko lebih rendah terkena kanker serviks," ujarnya.
Studi kedua yang melibatkan partisipan sejumlah pria di AS menunjukkan hasil kurang jelas. Namun, Carrie Nielson dari Oregon Health & Science University menemukan indikasi efek perlindungan sunat bagi pria. Setelah menganalisis perbedaan pada kelompok pria disunat dan tidak disunat, Carrie menyimpulkan, risiko pria yang disunat untuk terinfeksi HPV hanya separuh dari risiko pria yang tidak dikhitan.
Sementara itu, laporan ketiga merupakan hasil penelitian Lee Warner dari Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) AS. Dia dan timnya mengetes pria-pria keturunan Afrika-Amerika di Baltimore, AS. Didapati bahwa kasus infeksi HIV pada pria yang disunat hanya 10 persen dibandingkan 22 persen kasus pada pria yang tidak disunat."Sunat dapat mengurangi risiko terinfeksi HIV pada pria yang kerap terpapar HIV. Hal ini mendukung hasil studi lainnya terkait pengurangan risiko HIV pada pria heteroseksual yang disunat," katanya.
Dr Ronald Gray dan timnya dari Universitas Johns Hopkins di Baltimore berkomentar, sunat jarang dilakukan warga keturunan Afrika-Amerika dan Hispanic di Amerika. Padahal, mereka termasuk kelompok berisiko tinggi HIV. "Penelitian tentang faedah sunat tersebut mungkin akan berguna melindungi kaum minoritas itu dari HIV," ujarnya.
Laporan tiga studi tersebut memancing perdebatan bahwa pria (termasuk bayi laki-laki baru lahir) seharusnya disunat untuk melindungi kesehatan mereka, sekaligus partner seksualnya kelak. American Academy of Pediatrics (AAP) juga belum merekomendasikan sunat bagi bayi laki-laki baru lahir.
Di Indonesia, sunat atau khitan umumnya dilakukan pria muslim, kendati ada sebagian umat Kristiani yang juga melakukannya. Rata-rata anak laki-laki disunat pada usia 9-10 tahun (kelas 3-5 SD). Sunat dilakukan dengan memotong kulit yang menutupi ujung alat vital sehingga terbuka.
"Anatomi alat kelamin pria diibaratkan topi, saat buang air kecil sisa-sisa urine tertampung di situ. Melalui sunat, jadinya bersih dan tidak ada virus," ujar staf Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM Jakarta, dr Andon Hestiantoro SpOG (K).

Caranya, suami disarankan berkhitan alias sunat. Selain dianggap mampu mencegah kanker serviks, khitan juga dipercaya mampu meminimalkan penyebaran HIV. Fakta di lapangan menyebutkan, angka kematian akibat AIDS dan kanker serviks (leher rahim) sangat tinggi. Sebut saja HIV, virus penyebab AIDS yang menginfeksi 33 juta orang di seluruh dunia.
Demikian halnya HPV (human pappiloma virus) yang merupakan penyebab infeksi menular seksual paling umum di seluruh dunia. Virus tersebut telah menginfeksi sedikitnya 20 juta penduduk Amerika Serikat (AS). Virus inilah yang menjadi biang utama kanker serviks, penyakit yang mampu menewaskan 300.000 perempuan per tahun.
Upaya penanganannya telah berkembang, tidak lagi sekadar mengobati, melainkan juga pencegahan. Misalnya, vaksin HPV pencegah kanker serviks. Sayangnya, vaksin yang efektif mencegah AIDS masih belum ditemukan hingga detik ini.
Nah, bagi Anda kaum pria yang telah dikhitan (disunat), berbahagialah karena Anda dan pasangan berisiko lebih rendah terinfeksi kedua virus mematikan tersebut. Kabar baik itu datang dari laporan tiga studi yang dipublikasikan belum lama ini dalam Jurnal Penyakit Infeksi. Hasil studi memperkuat bukti bahwa khitan melindungi pria dari HPV dan HIV.
Sudah menjadi rahasia umum, kalau kanker serviks hanya dialami wanita. Namun, bisa saja wanita tersebut tertular HPV dari suami atau partner seksualnya. Dengan kata lain, dengan berkhitan berarti pria tak hanya melindungi dirinya sendiri, juga pasangannya.
Dr Bertran Auvert dari Universitas Versailles, Prancis, dan timnya di Afrika Selatan (Afsel) melakukan tes terhadap 1.200 pria yang memeriksakan diri ke klinik di Afsel. Mereka mendapati kasus infeksi HPV kurang dari 15 persen pada pria yang disunat, dan 22 persen pada pria yang belum disunat. "Temuan ini merupakan jawaban atas pertanyaan mengapa wanita yang bersuamikan pria yang telah disunat berisiko lebih rendah terkena kanker serviks," ujarnya.
Studi kedua yang melibatkan partisipan sejumlah pria di AS menunjukkan hasil kurang jelas. Namun, Carrie Nielson dari Oregon Health & Science University menemukan indikasi efek perlindungan sunat bagi pria. Setelah menganalisis perbedaan pada kelompok pria disunat dan tidak disunat, Carrie menyimpulkan, risiko pria yang disunat untuk terinfeksi HPV hanya separuh dari risiko pria yang tidak dikhitan.
Sementara itu, laporan ketiga merupakan hasil penelitian Lee Warner dari Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) AS. Dia dan timnya mengetes pria-pria keturunan Afrika-Amerika di Baltimore, AS. Didapati bahwa kasus infeksi HIV pada pria yang disunat hanya 10 persen dibandingkan 22 persen kasus pada pria yang tidak disunat."Sunat dapat mengurangi risiko terinfeksi HIV pada pria yang kerap terpapar HIV. Hal ini mendukung hasil studi lainnya terkait pengurangan risiko HIV pada pria heteroseksual yang disunat," katanya.
Dr Ronald Gray dan timnya dari Universitas Johns Hopkins di Baltimore berkomentar, sunat jarang dilakukan warga keturunan Afrika-Amerika dan Hispanic di Amerika. Padahal, mereka termasuk kelompok berisiko tinggi HIV. "Penelitian tentang faedah sunat tersebut mungkin akan berguna melindungi kaum minoritas itu dari HIV," ujarnya.
Laporan tiga studi tersebut memancing perdebatan bahwa pria (termasuk bayi laki-laki baru lahir) seharusnya disunat untuk melindungi kesehatan mereka, sekaligus partner seksualnya kelak. American Academy of Pediatrics (AAP) juga belum merekomendasikan sunat bagi bayi laki-laki baru lahir.
Di Indonesia, sunat atau khitan umumnya dilakukan pria muslim, kendati ada sebagian umat Kristiani yang juga melakukannya. Rata-rata anak laki-laki disunat pada usia 9-10 tahun (kelas 3-5 SD). Sunat dilakukan dengan memotong kulit yang menutupi ujung alat vital sehingga terbuka.
"Anatomi alat kelamin pria diibaratkan topi, saat buang air kecil sisa-sisa urine tertampung di situ. Melalui sunat, jadinya bersih dan tidak ada virus," ujar staf Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM Jakarta, dr Andon Hestiantoro SpOG (K).
Herbal Therapies Used by People Living With HIV: Propolis
Source: http://www.thebody.com/content/art47531.html
Part of A Practical Guide to Herbal Therapies for People Living With HIV
2004
Propolis is a sticky substance that bees make from the sap (or resin) found around the buds of trees and other plants. This sap has natural antibiotic properties and protects the plant from infection. Because bees collect propolis from a variety of plants, it contains many different disease-resistant compounds. In fact, it's spread on the inside of hives to prevent disease. Propolis can also be spread on the skin of people to prevent infections around cuts or to treat minor skin infections, including those seen in HIV. Some people spread the substance on skin affected by shingles or herpes cold sores. Test-tube studies suggest that propolis is effective against the herpes virus. People with HIV may also chew raw propolis (or use the tincture as a mouth wash) to prevent or treat mild thrush. Raw ground propolis is available from health food stores and beekeepers. Propolis may be dissolved in a tincture or added to skin creams.

2004
Propolis is a sticky substance that bees make from the sap (or resin) found around the buds of trees and other plants. This sap has natural antibiotic properties and protects the plant from infection. Because bees collect propolis from a variety of plants, it contains many different disease-resistant compounds. In fact, it's spread on the inside of hives to prevent disease. Propolis can also be spread on the skin of people to prevent infections around cuts or to treat minor skin infections, including those seen in HIV. Some people spread the substance on skin affected by shingles or herpes cold sores. Test-tube studies suggest that propolis is effective against the herpes virus. People with HIV may also chew raw propolis (or use the tincture as a mouth wash) to prevent or treat mild thrush. Raw ground propolis is available from health food stores and beekeepers. Propolis may be dissolved in a tincture or added to skin creams.
Propolis VS HIV, Propolis Win
Secrets of the hive
Propolis might have life-saving properties
By Sara Specht
From eNews, March 20, 2008
From eNews, March 20, 2008

Unexplained disappearances, a baffling plague, and an irreplaceable society crumbling: these are not the trappings of a musty history textbook or war coverage from across an ocean. They are essential pieces of a modern-day mystery that spans the globe.
This is the story of honeybees, their struggle to survive and the secret they may have to saving themselves. It's the tale of three CFANS investigators and their team, who hope to learn the bees' secret and use it to save humans, as well.
About seven years ago, a researcher from the Ukraine working at the University of Minnesota Medical School on lab trials to combat HIV came down with a cold. She, like countless people around the world, had always relied on a traditional treatment for such woes, a substance found in any honeybee hive: propolis.
Propolis, sometimes known as bee glue, is a thick, sticky resin that bees collect from tree buds and use to cement holes in the hive and defend it against invading parasites and diseases. Traditional healers from South America, China, Japan, and Eastern Europe have valued propolis as a remedy for such ailments as gum problems and dental health, skin issues and oral sores, as well as viruses and the common cold.
The researcher tracked down propolis at the Minneapolis farmers' market and made herself a tincture to soothe her viral woes. Then she brought her cure to work with her and ran a test: propolis versus HIV. Propolis won.
Propolis demonstrated antiviral activity against HIV, prompting a study on propolis that paired the Medical School with a team of researchers from CFANS. Results were promising, but propolis is an incredibly complex substance, and the mystery of precisely which elements are active remained. The study's implications were intriguing, however.
Where the bees are
"I started thinking, 'Wait, if propolis is so good for humans, it's got to also be good for bees,'" explains bee expert Marla Spivak, co-principal investigator in a new two-year project to identify the active compounds in honeybee propolis.
For the past several decades, bees have been stricken by parasites and viruses introduced by humans and global movement, to the point that wild or feral honeybees have become virtually extinct, says Spivak, a professor in the Department of Entomology. In the past year, entire colonies have mysteriously disappeared in an epidemic bee experts have named Colony Collapse Disorder (CCD), which has decimated some beekeepers' bee populations.
Spivak speculates that CCD could be the cumulative effect of diseases and parasites that affect only honeybees, new systemic insecticides, crop specialization, and destruction of native plant corridors, among other things. Whatever the cause, CCD threatens the pollinators of one-third of all U.S. food crops.
Spivak reasoned that a study could address both honeybee and human health. Testing chemical compounds against bee diseases can be done much faster than studies with human subjects, and results could quickly be applied to combat bee diseases or to test compounds against HIV and other human viruses. She enlisted two colleagues from the University's original propolis study-- Jerry Cohen and Gary Gardner, both from the Department of Horticultural Science--to join her on the project, which is funded by a grant from CFANS.
"I went to Jerry and said, 'What would be really cool would be to analyze the components of propolis and to use the bee as a screen to quickly test which are active against bee diseases and bee viruses'," Spivak explains. "So I came up with the idea to use the bees as a screen, and they came up with the methods."
"One of the limitations of the original project we worked with was that we had no rapid assay for biological activity," Cohen says. "It involved harvesting cells from patients, so it wasn't trivial. What makes the bee part of this project very important is the quick screening system for bacteria that cause the death of bees."
Using propolis supplied by Spivak's contacts from countries around the world, as well as from her own hives on the Twin Cities campus in St. Paul, the study will identify any variations that arise from different plant sources in propolis from different locations, as well as any role the bees may have in altering its chemistry. The three professors collaborate with Lana Barkawi, a postdoctoral biochemist in Cohen's lab, and toxicology graduate student researcher Mike Wilson to create their new screening process.
The ultimate goal of the rapid assay will be to identify any new compounds that show anti-microbial activity toward bacteria and viruses that infect insects. Then the researchers will submit those compounds to an external service to test their activity against enzymes unique to the HIV virus.
"The danger with something like propolis, because it's been looked at for literally millennia, is that you can move down the line and discover something that's already known," says Gardner. "Our focus is on two key terms: active and novel."
"We might find something novel that's never been evaluated on HIV, we might not," Gardner says. "But we have this background in propolis and HIV expression, so it's not like we're saying we can cure AIDS because propolis is good."
A long-term hope, says Spivak, "is that after testing propolis components on bee diseases and viruses, we can find components that would be really helpful to treat human viruses, and particularly an inexpensive treatment for HIV for developing nations."
"I really hope that bees change propolis when they collect it, because that leaves bees in the picture," she says. "I want them to be indispensable, so that people maintain the bees, which are so important."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar