Obesitas Dorong Risiko Kematian di Asia-Pasifik
Sumber: 'http://www.tempointeraktif.com/hg/kesehatan/2010/07/01/brk,20100701-260047,id.html'
TEMPO Interaktif, OSLO - Risiko kematian akibat kegemukan dan kanker di kawasan Asia-Pasifik meningkat secara signifikan. Menurut sebuah studi baru dari Universitas Oslo di Norwegia, kematian karena kanker pada orang kelebihan berat badan lebih besar dibanding mereka yang memiliki berat badan normal.
Para peneliti menganalisis data dari lebih dari 424.500 orang dewasa di Asia, Australia dan Selandia Baru. Secara keseluruhan, mereka yang kelebihan berat badan, 21 persen meninggal karena kanker dibanding orang dengan berat badan normal. ”Angka itu belum termasuk penyebab penyakit kematian paru-paru dan saluran pencernaan atas,” tulis Christine Parr, dari Universitas Oslo di Norwegia
.
Penelitian ini juga menemukan, dibandingkan orang dengan berat badan normal, orang obesitas lebih mungkin mati karena masalah usus besar, rektum, ovarium, serviks dan kanker prostat dan leukemia. Wanita obesitas berusia lebih dari 60 tahun juga lebih mungkin mati karena kanker payudara dibandingkan wanita dengan berat badan normal.
Meski berbeda gaya hidup dan pola makan dibandingkan negara negara Barat, penelitian ini tak menemukan risiko yang lebih tinggi untuk kematian kanker pada indeks massa tubuh yang sama, sebagaimana telah disarankan untuk diabetes dan penyakit kardiovaskuler.
Christine menyerukan untuk mencegah peningkatan proporsi orang yang kelebihan berat badan dan obesitas dalam populasi Asia untuk mengurangi beban kanker yang dikhawatirkan berkembang jika epidemi obesitas terus.
nur rochmi healthday

Para peneliti menganalisis data dari lebih dari 424.500 orang dewasa di Asia, Australia dan Selandia Baru. Secara keseluruhan, mereka yang kelebihan berat badan, 21 persen meninggal karena kanker dibanding orang dengan berat badan normal. ”Angka itu belum termasuk penyebab penyakit kematian paru-paru dan saluran pencernaan atas,” tulis Christine Parr, dari Universitas Oslo di Norwegia
.
Penelitian ini juga menemukan, dibandingkan orang dengan berat badan normal, orang obesitas lebih mungkin mati karena masalah usus besar, rektum, ovarium, serviks dan kanker prostat dan leukemia. Wanita obesitas berusia lebih dari 60 tahun juga lebih mungkin mati karena kanker payudara dibandingkan wanita dengan berat badan normal.
Meski berbeda gaya hidup dan pola makan dibandingkan negara negara Barat, penelitian ini tak menemukan risiko yang lebih tinggi untuk kematian kanker pada indeks massa tubuh yang sama, sebagaimana telah disarankan untuk diabetes dan penyakit kardiovaskuler.
Christine menyerukan untuk mencegah peningkatan proporsi orang yang kelebihan berat badan dan obesitas dalam populasi Asia untuk mengurangi beban kanker yang dikhawatirkan berkembang jika epidemi obesitas terus.
nur rochmi healthday
Ukuran Celana dan Risiko Kanker

Penumpukan lemak tersebut biasanya tersembunyi dan mengelilingi organ-organ di sekitar perut serta berkaitan dengan penyakit diabetes tipe 2, tekanan darah tinggi serta risiko penyakit jantung.
"Sejak lama sudah ada hipotesa yang menyatakan bahwa ukuran pakaian kita merupakan tanda yang nyata terjadinya obesitas dan lemak di bagian dalam perut," kata Dr Laura AE Hughes, dari Maastricht University, Belanda.
Menggunakan informasi dari 2.500 pria dan wanita yang terlibat dalam studi mengenai diet dan kanker, para peneliti mencoba membenarkan kaitan antara ukuran pakaian dan ukuran pinggang serta paha, dengan indeks massa tubuh. Menurut para peneliti, ukuran rok atau celana panjang seseorang di masa kini berkaitan dengan risiko kanker di masa depan.
Selama 13 tahun masa penelitian, para peneliti menemukan bahwa pada wanita, ukuran rok yang besar bisa meramalkan risiko terjadinya kanker endometrium. Sementara pada pria, ukuran celana panjang yang besar bisa dipakai untuk memprediksi risiko kanker ginjal.
Pada laki-laki, ukuran lingkar pinggang perlu diwaspadai bila lebih dari 90 cm, sedangkan untuk wanita, lebih dari 80 cm.
"Di masa depan hal ini bisa membantu studi epidemiologi untuk mengumpulkan data ukuran pakaian selain juga berat dan tinggi badan, terutama pada populasi masyarakat yang rawan obesitas," kata Hughes.
Cuka Bantu Cegah Obesitas
CUKA, yang mungkin biasa Anda gunakan sebagai dressing salad ternyata tidak hanya bermanfaat menambah rasa. Menurut para ilmuwan dari Jepang, cuka merupakan senjata terbaru dalam menurunkan berat badan. Menurut peneliti, cuka ini bekerja dengan cara mengaktifkan gen yang membantu menghancurkan lemak.
Cuka bukan hal yang baru dalam bidang pengobatan. Bahan satu ini telah lama digunakan dalam sistem pengobatan tradisional untuk mengobati berbagai penyakit. Dan, secara perlahan, bukti medis mulai membenarkan klaim-klaim mengenai manfaat cuka tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir ini misalnya, penelitian telah membuktikan kalau komponen kimia utama dalam cuka, yang disebut dengan asam cuka, bisa membantu mengontrol tekanan dan gula darah.
Dalam studi terbaru ini, Peneliti Tomoo Kondo dan teman-temannya menyatakan kalau cuka juga bisa membantu Anda menurunkan berat badan dan melawan obesitas. Dalam percobaannya, Kondo memberikan asam cuka atau air kepada tikus-tikus melalui sebuah pipa. Semua tikus diberikan makanan kaya lemak untuk dikonsumsi secara normal.
Studi yang rencananya akan dipublikasikan di Journal of Agricultural and Food Chemistry edisi 8 Juli mendatang ini menemukan, tikus-tikus yang diberikan asam cuka mengalami pertambahan lemak tubuh 10% lebih sedikit dibandingkan tikus-tikus yang tidak menerima asam cuka. Menurut para peneliti, jumlah makanan yang dikonsumsi tikus-tikus tersebut tidak terpengaruh.
"Asam cuka diyakini mengaktifkan gen-gen yang berfungsi memproduksi protein yang membantu memecah lemak," ujar peneliti seperti dikutip situs webmd. Proses seperti ini, menurut peneliti, akan mencegah pembentukan lemak di dalam tubuh. Dengan begitu, juga akan mencegah penambahan berat badan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar